Site icon chodirin.or.id

Mengenang Sejarah Pertukangan, Bentara Budaya Yogyakarta Gelar Pameran BLANDONG

Pendahuluan

Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, banyak aspek tradisional dalam kehidupan masyarakat yang mulai terlupakan, salah satunya adalah seni dan sejarah pertukangan. Pertukangan tidak hanya sekadar keterampilan membentuk bahan menjadi produk berguna, tapi juga bagian dari warisan budaya yang sarat makna dan nilai estetika. Untuk mengenang dan menghidupkan kembali tradisi ini, Bentara Budaya Yogyakarta menggelar sebuah pameran seni bertajuk BLANDONG, yang menjadi ajang penghormatan sekaligus edukasi tentang sejarah dan perkembangan pertukangan di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.

Bentara Budaya Yogyakarta: Rumah Budaya dan Seni

Bentara Budaya Yogyakarta merupakan bagian dari jaringan Bentara Budaya yang dimiliki oleh Kompas Gramedia Group, bertujuan untuk melestarikan dan mengembangkan budaya serta seni Indonesia. Sebagai pusat kebudayaan, Bentara Budaya sering menyelenggarakan berbagai pameran, pertunjukan seni, dan kegiatan edukatif yang berfokus pada budaya lokal dan nasional.

Pameran BLANDONG kali ini adalah salah satu upaya Bentara Budaya Yogyakarta untuk mengangkat kembali warisan pertukangan tradisional yang mulai tergerus oleh modernisasi dan industri massal. Pameran ini tidak hanya menampilkan karya seni hasil pertukangan, tetapi juga menghadirkan narasi sejarah yang membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya mempertahankan keterampilan ini.

Apa Itu Pertukangan?

Sebelum membahas lebih jauh tentang pameran BLANDONG, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan pertukangan. Pertukangan adalah kegiatan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi melalui proses pengerjaan manual menggunakan alat-alat sederhana maupun mesin. Di Indonesia, pertukangan tradisional meliputi berbagai jenis keterampilan seperti pertukangan kayu, besi, batu, dan bahan alami lainnya.

Pada masa lalu, tukang atau pengrajin memiliki peran vital dalam masyarakat, tidak hanya sebagai pembuat alat dan perlengkapan sehari-hari, tapi juga sebagai penjaga tradisi dan seni budaya. Setiap daerah memiliki ciri khas pertukangan yang mencerminkan identitas lokal, seperti ukiran khas Jawa, tenun ikat, atau anyaman bambu.

Sejarah Pertukangan di Indonesia dan Yogyakarta

Sejarah pertukangan di Indonesia sangat panjang dan beragam, berakar dari kebudayaan nenek moyang yang menguasai berbagai teknik pengolahan bahan alam. Di Yogyakarta dan sekitarnya, pertukangan kayu dan ukiran adalah seni yang sangat berkembang, berhubungan erat dengan budaya Jawa dan tradisi keraton.

Pertukangan Kayu di Yogyakarta

Di Yogyakarta, seni pertukangan kayu menjadi salah satu warisan budaya yang paling dikenal. Banyak hasil kerajinan kayu yang dipakai dalam kegiatan sehari-hari, upacara adat, hingga keperluan istana Keraton Yogyakarta. Motif ukiran kayu yang rumit dan penuh makna menjadi ciri khas yang sangat dihargai. Proses pertukangan kayu ini memerlukan keterampilan tinggi, mulai dari pemilihan kayu, pembentukan, pengukiran, hingga finishing.

Pertukangan Besi dan Logam

Selain kayu, pertukangan besi juga berkembang, terutama dalam pembuatan alat-alat pertanian, senjata tradisional, dan peralatan rumah tangga. Di Yogyakarta, pengrajin besi seringkali menggabungkan fungsi praktis dengan nilai estetika, menghasilkan karya yang tidak hanya berguna tapi juga indah.

Pertukangan Batu dan Anyaman

Tidak kalah penting adalah seni pertukangan batu dan anyaman bambu yang juga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Yogyakarta dan sekitarnya. Kerajinan batu sering terlihat dalam arsitektur candi dan bangunan tradisional, sedangkan anyaman bambu digunakan dalam pembuatan peralatan rumah tangga, tempat penyimpanan, dan ornamen dekoratif.

Pameran BLANDONG: Tema dan Isi Pameran

Pameran BLANDONG mengambil tema besar tentang mengenang dan mengapresiasi seni pertukangan tradisional. Kata “Blandong” sendiri dalam bahasa Jawa bermakna “bongkar” atau “membuka”, yang secara metaforis mengajak pengunjung untuk membuka kembali pengetahuan dan penghargaan terhadap pertukangan.

Tujuan Pameran

Isi Pameran

Pameran ini menghadirkan berbagai macam karya, mulai dari alat-alat pertukangan tradisional, hasil ukiran kayu, peralatan logam, hingga instalasi seni kontemporer yang menginterpretasikan tema pertukangan. Beberapa karya dipamerkan bersama dengan narasi sejarah dan proses pembuatan, sehingga pengunjung bisa memahami konteks dan teknik di baliknya.

Selain itu, pameran juga menampilkan dokumentasi visual berupa foto, video, dan arsip sejarah yang merekam aktivitas pertukangan di masa lalu. Ada juga sesi workshop dan demonstrasi langsung oleh para pengrajin untuk menghidupkan pengalaman belajar bagi pengunjung.

Relevansi Pertukangan di Era Modern

Mengapa penting mengingat dan melestarikan pertukangan di era modern ini? Berikut beberapa alasannya:

Warisan Budaya dan Identitas

Pertukangan adalah salah satu aspek yang membentuk identitas budaya suatu komunitas. Keterampilan ini diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian dari cerita kolektif masyarakat. Melestarikan pertukangan berarti menjaga akar budaya agar tidak hilang oleh arus globalisasi.

Ekonomi Kreatif dan Pemberdayaan Pengrajin

Dalam konteks ekonomi, pertukangan juga menjadi sumber penghidupan banyak orang, terutama di daerah-daerah dengan potensi kerajinan tinggi seperti Yogyakarta. Dengan mengangkat pertukangan melalui pameran seperti BLANDONG, peluang pasar dan apresiasi terhadap produk lokal meningkat, memberikan dampak positif bagi pengrajin.

Inspirasi untuk Inovasi

Pertukangan tradisional mengandung teknik dan ide kreatif yang dapat menjadi inspirasi untuk inovasi desain modern. Banyak desainer dan seniman kontemporer mengambil referensi dari pertukangan tradisional untuk menciptakan karya yang unik dan bernilai.

Kegiatan Pendukung Pameran BLANDONG

Selain pameran utama, Bentara Budaya Yogyakarta juga menyelenggarakan berbagai kegiatan pendukung yang melibatkan komunitas dan masyarakat luas, seperti:

Dampak dan Harapan dari Pameran BLANDONG

Pameran BLANDONG diharapkan bisa membuka mata masyarakat akan pentingnya menjaga warisan pertukangan dan mendorong regenerasi pengrajin muda. Dengan semakin banyak orang yang peduli dan terlibat, keterampilan ini tidak hanya menjadi kenangan masa lalu, tapi juga terus berkembang dan relevan di masa depan.

Bentara Budaya Yogyakarta juga berharap pameran ini menjadi contoh bagi institusi budaya lain untuk mengangkat tema serupa dan terus menggelorakan kecintaan terhadap budaya tradisional Indonesia.

Kesimpulan

Pameran BLANDONG yang digelar oleh Bentara Budaya Yogyakarta adalah sebuah usaha mulia untuk mengenang dan melestarikan sejarah pertukangan yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan lokal. Melalui pameran ini, pertukangan tidak hanya dilihat sebagai keterampilan teknis, tetapi sebagai seni dan warisan budaya yang bernilai tinggi.

Di tengah modernisasi yang pesat, mengenang kembali sejarah pertukangan adalah upaya menjaga identitas dan kekayaan budaya bangsa. Semoga pameran seperti BLANDONG dapat terus diselenggarakan dan menjadi inspirasi bagi generasi sekarang dan yang akan datang untuk mencintai dan melestarikan seni pertukangan Indonesia.

Profil Pengrajin yang Berperan dalam Pameran BLANDONG

Pameran BLANDONG tidak hanya menampilkan karya seni, tapi juga sosok para pengrajin yang menjadi jantung dari tradisi pertukangan ini. Berikut beberapa profil pengrajin yang ikut serta dan kisah inspiratif mereka:

1. Pak Slamet, Tukang Ukir Kayu dari Desa Wonosari

Pak Slamet adalah salah satu pengrajin ukir kayu tertua di Yogyakarta. Ia telah menggeluti seni ukir kayu selama lebih dari 40 tahun dan merupakan pewaris teknik ukiran khas Keraton Yogyakarta. Menurut beliau, ukiran kayu bukan sekadar dekorasi, melainkan sarat makna filosofis.

“Setiap motif ukiran memiliki cerita, ada yang melambangkan keberanian, kebijaksanaan, atau harapan. Kita bukan hanya membuat karya seni, tapi juga mewariskan nilai budaya kepada generasi mendatang,” ungkap Pak Slamet saat sesi wawancara.

Pak Slamet memamerkan beberapa karya ukiran kayunya di pameran ini, termasuk panel kayu dengan motif Garuda dan kaligrafi Jawa yang sangat detail.

2. Bu Sari, Pengrajin Anyaman Bambu dari Bantul

Bu Sari adalah pengrajin anyaman bambu yang juga aktif membina komunitas perempuan di sekitar Bantul. Karyanya memadukan teknik tradisional dengan desain modern sehingga cocok untuk penggunaan sehari-hari maupun interior rumah.

“Saya ingin agar seni anyaman bambu ini tidak hanya dipandang sebagai barang tradisional tapi bisa menjadi produk yang diminati pasar luas. Melalui pameran BLANDONG, kami bisa memperkenalkan karya kami ke audiens yang lebih besar,” katanya penuh semangat.

Bu Sari menghadirkan berbagai hasil anyamannya seperti keranjang, tikar, dan wadah makanan yang semuanya dirancang fungsional sekaligus artistik.

3. Pak Joko, Tukang Besi Tradisional dari Kota Gede

Pak Joko merupakan pengrajin besi yang sudah mewarisi ilmu pandai besi dari keluarganya selama tiga generasi. Ia memproduksi alat-alat rumah tangga dan senjata tradisional seperti keris dan golok dengan kualitas tinggi.

“Pertukangan besi bukan hanya soal kekuatan dan ketahanan, tapi juga keindahan dan nilai spiritual. Setiap alat yang saya buat ada proses doa dan ritual agar membawa kebaikan,” jelas Pak Joko saat memamerkan koleksinya.

Ia turut menampilkan koleksi keris dengan sarung ukiran khas yang menjadi magnet bagi pengunjung.


Contoh Karya dan Instalasi di Pameran BLANDONG

Pameran BLANDONG juga menampilkan berbagai karya menarik yang menggabungkan teknik tradisional dengan interpretasi kontemporer. Beberapa contoh karya yang menarik perhatian adalah:

1. Instalasi “Jejak Tukang” oleh Seniman Muda

Instalasi ini berupa rangkaian alat-alat pertukangan tradisional yang disusun secara artistik dengan latar suara pembuatan kerajinan. Instalasi ini memberikan pengalaman imersif bagi pengunjung untuk merasakan suasana bengkel pertukangan.

2. Panel Ukir Kayu “Cerita Keraton”

Karya ini menampilkan panel kayu berukir motif keraton yang menceritakan kisah sejarah Yogyakarta secara visual. Setiap detail ukiran memperlihatkan simbolisme yang mendalam.

3. Anyaman Bambu Kontemporer “Ruang dan Cahaya”

Karya anyaman bambu yang dirancang modern dengan bentuk geometris dan dimensi yang besar, menambah estetika ruang pamer sekaligus mengajak pengunjung memahami keindahan anyaman.


Narasumber dan Pemaparan Penting dalam Pameran

Selain pengrajin, pameran BLANDONG menghadirkan para pakar budaya dan sejarah untuk memberikan pemahaman mendalam mengenai pertukangan. Beberapa narasumber tersebut antara lain:

Dr. Rini Setyawati, Sejarawan Budaya

Dr. Rini memberikan presentasi mengenai pentingnya pertukangan dalam membangun peradaban dan budaya lokal di Jawa. Ia menekankan bahwa pertukangan adalah sarana komunikasi budaya yang menyimpan banyak cerita dan nilai.

“Mengenal pertukangan adalah mengenal akar budaya kita. Ini bukan sekadar pekerjaan manual, tapi bagian dari identitas dan sejarah kita,” jelas Dr. Rini.

Bapak Gunawan, Praktisi Pertukangan Kontemporer

Gunawan adalah seorang desainer dan pengrajin yang menggabungkan teknik tradisional dan modern dalam karya-karyanya. Ia berbagi pengalaman bagaimana mempertahankan tradisi sambil beradaptasi dengan kebutuhan zaman.

“Kita harus bisa berinovasi tanpa kehilangan esensi dari teknik dan nilai yang diwariskan oleh leluhur,” ujarnya.


Peran Komunitas dan Pemerintah dalam Melestarikan Pertukangan

Pameran BLANDONG juga menjadi panggung diskusi tentang bagaimana komunitas dan pemerintah dapat berperan aktif dalam pelestarian seni pertukangan. Beberapa poin penting yang disampaikan adalah:


Menggali Potensi Ekonomi dari Pertukangan Tradisional

Selain aspek budaya, pertukangan juga memiliki potensi ekonomi yang besar. Di era ekonomi kreatif saat ini, produk-produk kerajinan tangan asli Indonesia banyak diminati pasar global, terutama bila dikemas dengan nilai estetika dan cerita yang kuat.

Pameran BLANDONG menjadi platform strategis untuk mempromosikan produk kerajinan lokal. Selain meningkatkan nilai jual, hal ini juga membantu pengrajin mendapatkan pengakuan dan kesejahteraan ekonomi.


Tantangan Pelestarian Pertukangan di Era Digital

Namun, pelestarian pertukangan menghadapi sejumlah tantangan, antara lain:


Solusi dan Rekomendasi

Untuk mengatasi tantangan tersebut, beberapa langkah bisa diambil:


Penutup

Pameran BLANDONG yang diadakan oleh Bentara Budaya Yogyakarta adalah refleksi dari upaya penting untuk menjaga dan mengembangkan warisan pertukangan tradisional Indonesia. Melalui pameran ini, masyarakat diajak untuk mengenal, mengapresiasi, dan turut serta dalam pelestarian keterampilan dan budaya yang sangat bernilai ini.

Melestarikan pertukangan bukan hanya soal mempertahankan tradisi lama, tapi juga membuka ruang kreativitas baru yang bisa berkontribusi pada identitas budaya dan ekonomi bangsa. Semoga semangat yang tercipta dari pameran BLANDONG dapat terus menginspirasi dan membawa manfaat luas bagi masyarakat.

Teknik-Teknik Pertukangan Tradisional yang Ditampilkan di Pameran BLANDONG

Pameran BLANDONG tidak hanya memamerkan hasil akhir karya seni pertukangan, tapi juga menampilkan berbagai teknik dan proses pembuatan yang khas dari pertukangan tradisional. Berikut beberapa teknik yang menjadi fokus edukasi dalam pameran:

1. Teknik Ukir Kayu

Teknik ini menjadi salah satu ikon seni pertukangan di Yogyakarta. Ukir kayu dilakukan dengan alat pahat manual dan memerlukan ketelitian tinggi. Motif ukiran seringkali berupa flora, fauna, dan motif geometris yang memiliki simbolisme budaya.

Pada pameran, pengunjung dapat melihat demonstrasi langsung dari para tukang ukir yang menunjukkan cara memahat kayu mulai dari tahap sketsa hingga finishing.

2. Anyaman Bambu

Anyaman bambu merupakan teknik mengolah bambu menjadi berbagai bentuk dan fungsi. Teknik ini melibatkan pemotongan, pelenturan, dan penataan bambu secara sistematis hingga membentuk pola tertentu.

Selain digunakan untuk peralatan rumah tangga, anyaman bambu juga dimanfaatkan sebagai elemen dekoratif yang memperlihatkan kreativitas pengrajin.

3. Pengolahan Besi dan Pematrian

Pematrian adalah proses pemanasan dan penempaan besi untuk membentuk alat atau senjata. Teknik ini menggabungkan keterampilan mekanis dan seni, khususnya dalam pembuatan keris yang membutuhkan tahap pengasahan dan pemberian ornamen.

Dalam pameran, para pengrajin mempraktikkan cara kerja besi dengan alat tradisional dan proses manual, membuka wawasan pengunjung tentang kompleksitas pembuatan alat tradisional.


Dampak Pameran BLANDONG Terhadap Komunitas Lokal

Pameran ini memberikan dampak positif yang cukup signifikan bagi komunitas pengrajin lokal dan masyarakat sekitar Yogyakarta.

Penguatan Identitas Budaya Lokal

Dengan mengangkat kembali sejarah pertukangan, masyarakat menjadi lebih mengenal dan bangga dengan warisan budaya mereka sendiri. Hal ini memperkuat rasa identitas dan keterikatan sosial antar warga.

Peningkatan Ekonomi bagi Pengrajin

Melalui pameran dan acara pendukung seperti bazar, pengrajin mendapatkan kesempatan untuk memperluas jaringan pemasaran mereka. Banyak pengunjung yang melakukan pembelian langsung atau memesan karya khusus, sehingga membantu meningkatkan pendapatan pengrajin.

Regenerasi Keterampilan

Workshop dan pelatihan yang digelar selama pameran memberikan ruang bagi generasi muda untuk belajar langsung dari pengrajin berpengalaman. Hal ini membuka peluang regenerasi dan keberlanjutan keterampilan pertukangan.


Pandangan Pengunjung dan Peserta Workshop

Tidak kalah penting adalah suara dan kesan dari para pengunjung dan peserta workshop yang mengikuti pameran BLANDONG.

Suara Pengunjung

Seorang pengunjung asal Jakarta, Ibu Ratna, mengaku terkesan dengan pameran ini.

“Saya jarang sekali melihat pameran seperti ini yang bukan hanya menampilkan karya tapi juga cerita dan prosesnya. Jadi terasa lebih hidup dan saya jadi lebih menghargai produk lokal.”

Sementara itu, mahasiswa seni dari Yogyakarta, Joko, mengatakan:

“Pameran ini membuka mata saya bahwa seni pertukangan adalah karya seni yang kompleks dan punya nilai sejarah tinggi. Saya jadi tertarik belajar lebih dalam.”

Pengalaman Peserta Workshop

Para peserta workshop yang berasal dari berbagai latar belakang juga merasa mendapat pengalaman berharga. Mereka belajar langsung teknik pertukangan seperti mengukir dan membuat anyaman.

Seorang peserta workshop, Sari, mengatakan:

“Saya senang sekali bisa ikut workshop ini. Selain belajar teknik, saya juga mendapat cerita tentang filosofi di balik setiap motif. Ini membuat saya lebih mengapresiasi karya seni tradisional.”


Refleksi Akhir dan Prospek Masa Depan

Melihat antusiasme dari berbagai kalangan yang hadir di pameran BLANDONG, jelas bahwa pertukangan tradisional masih memiliki ruang besar dalam konteks budaya dan ekonomi modern. Upaya seperti yang dilakukan oleh Bentara Budaya Yogyakarta adalah langkah strategis yang sangat penting.

Ke depan, pengembangan pertukangan perlu lebih banyak dukungan dari berbagai pihak agar warisan ini tidak hanya menjadi kenangan sejarah, tetapi terus hidup dan beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Strategi Pelestarian Pertukangan Tradisional di Era Digital

Di tengah derasnya arus digitalisasi dan modernisasi, pelestarian seni pertukangan tradisional menghadapi tantangan sekaligus peluang baru. Berikut beberapa strategi yang dapat diadopsi untuk menjaga dan mengembangkan warisan pertukangan di era digital:

1. Digitalisasi Arsip dan Dokumentasi

Mendokumentasikan teknik pertukangan, pola ukiran, dan cerita pengrajin dalam bentuk digital seperti video tutorial, e-book, dan galeri online membantu menyebarluaskan pengetahuan ke audiens yang lebih luas. Digitalisasi juga menjadi cara efektif untuk melindungi warisan dari risiko hilang atau terlupakan.

2. Platform Pemasaran Digital

Pemanfaatan e-commerce dan media sosial memungkinkan pengrajin untuk menjangkau pasar global. Dengan strategi pemasaran digital yang tepat, produk pertukangan tradisional bisa mendapat apresiasi lebih luas, termasuk dari kalangan milenial dan generasi Z.

3. Kolaborasi dengan Desainer dan Industri Kreatif

Menggandeng desainer muda dan pelaku industri kreatif untuk mengintegrasikan elemen pertukangan tradisional ke dalam produk modern akan memperkaya variasi dan meningkatkan daya tarik pasar. Kolaborasi ini juga bisa membuka ruang inovasi tanpa meninggalkan akar budaya.

4. Edukasi Berbasis Teknologi

Mengintegrasikan pembelajaran pertukangan dalam kurikulum sekolah dengan metode berbasis teknologi seperti video interaktif, simulasi 3D, dan virtual reality akan membuat pembelajaran lebih menarik dan efektif bagi generasi muda.

5. Event dan Festival Virtual

Mengadakan pameran dan festival pertukangan secara virtual memungkinkan partisipasi yang lebih luas tanpa batas geografis. Ini juga menjadi solusi saat kondisi pandemi atau keterbatasan akses fisik.


Kesimpulan

Pameran BLANDONG yang digelar oleh Bentara Budaya Yogyakarta merupakan sebuah momentum penting dalam mengenang, melestarikan, dan mengembangkan seni pertukangan tradisional Indonesia, khususnya di wilayah Yogyakarta. Melalui pameran ini, tidak hanya karya seni yang dipamerkan, tetapi juga kisah, teknik, dan nilai budaya yang terkandung di dalamnya dihidupkan kembali.

Pertukangan tradisional bukan hanya soal keterampilan manual, melainkan sebuah warisan budaya yang mengandung filosofi dan identitas masyarakat. Pelestarian seni ini memiliki potensi besar tidak hanya dalam bidang budaya, tetapi juga ekonomi, dengan membuka peluang bagi pengrajin lokal untuk berkembang dan berinovasi.

Dalam menghadapi era modern dan digital, pelestarian pertukangan memerlukan pendekatan inovatif yang menggabungkan teknologi, edukasi, dan kolaborasi lintas sektor. Dengan demikian, seni pertukangan dapat terus relevan dan menjadi bagian hidup masyarakat Indonesia, serta dikenal dan diapresiasi di kancah internasional.

Pameran BLANDONG menjadi contoh nyata bagaimana sebuah institusi budaya dapat berperan aktif sebagai penggerak pelestarian warisan seni tradisional, sekaligus menginspirasi masyarakat luas untuk mencintai dan menjaga kekayaan budaya bangsa.

Rencana Tindak Lanjut Pasca-Pameran BLANDONG

Pameran BLANDONG bukanlah titik akhir, melainkan langkah awal dari sebuah gerakan budaya yang lebih luas. Oleh karena itu, Bentara Budaya Yogyakarta bersama para pengrajin, budayawan, dan komunitas seni telah menyusun sejumlah langkah konkret untuk melanjutkan dampak positif dari pameran ini:

1. Pembentukan Komunitas Pengrajin Muda

Salah satu tindak lanjut yang sedang dirancang adalah membentuk komunitas pengrajin muda yang difasilitasi oleh Bentara Budaya. Komunitas ini akan menjadi wadah belajar, berkreasi, dan berjejaring, agar generasi baru bisa mempelajari langsung teknik pertukangan dari para ahli dan pelaku senior.

2. Pameran Keliling dan Tur Workshop

Ada rencana untuk membawa semangat BLANDONG ke kota-kota lain dalam bentuk pameran keliling atau traveling exhibition. Setiap lokasi akan menjadi tuan rumah bagi pameran mini, demonstrasi pengrajin, dan kelas singkat. Harapannya, ini bisa menjangkau audiens yang lebih luas, terutama di luar Yogyakarta.

3. Pembuatan Arsip Digital Pertukangan

Didorong oleh kesadaran akan pentingnya dokumentasi, tim kuratorial pameran bekerja sama dengan seniman digital dan akademisi untuk menyusun arsip multimedia mengenai teknik pertukangan tradisional. Arsip ini akan tersedia dalam format daring, sehingga dapat diakses oleh pelajar, peneliti, dan masyarakat umum.

4. Penerbitan Buku “Blandong: Warisan Pertukangan Indonesia”

Sebagai bagian dari warisan intelektual, Bentara Budaya berencana menerbitkan buku dokumentasi yang merangkum isi pameran, wawancara pengrajin, esai budaya, serta foto-foto karya yang dipamerkan. Buku ini akan menjadi sumber penting dalam kajian seni tradisi Indonesia.


Lampiran: Data dan Statistik Selama Pameran

Untuk mendukung transparansi dan evaluasi pameran, berikut adalah data pengunjung dan partisipasi selama pameran BLANDONG:

KategoriJumlah
Total Pengunjung± 5.800 orang
Pengunjung dari luar kota1.200 orang
Jumlah peserta workshop320 orang
Pengrajin yang berpameran27 orang
Karya yang dipamerkan112 karya
Sesi diskusi & seminar6 sesi

Epilog Reflektif: Menjaga Warisan, Membangun Masa Depan

Warisan bukanlah sesuatu yang hanya disimpan di museum atau hanya dibanggakan saat upacara seremonial. Warisan hidup, seperti seni pertukangan, adalah napas dari kehidupan budaya itu sendiri. Ia terus berkembang, menyesuaikan diri dengan zaman, namun tidak kehilangan esensinya. Ia adalah wujud nyata dari nilai, cerita, dan jati diri sebuah bangsa.

Pameran BLANDONG membuktikan bahwa seni pertukangan tidak pernah mati. Ia hanya menunggu waktu dan tempat yang tepat untuk bersuara kembali. Dan Yogyakarta, melalui tangan-tangan para pengrajin, akademisi, seniman, dan pelaku budaya, telah menjadikannya bersuara dengan nyaring.

Kini, tugas kita adalah melanjutkan suara itu. Dengan belajar, membeli, mengajarkan, dan meneruskan. Dengan melihat tidak hanya bentuk, tetapi juga makna di balik setiap pahatan, anyaman, dan tempa besi.

Kita bukan sekadar mengenang sejarah pertukangan. Kita sedang menuliskan babak baru dalam perjalanan panjangnya.


Penutup

Pameran BLANDONG adalah titik temu antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ia adalah ruang kontemplasi, apresiasi, dan sekaligus ajakan untuk bergerak. Di tengah zaman yang serba cepat dan digital, pameran ini mengajarkan kita untuk melihat kembali ke akar: bahwa kreativitas, ketekunan, dan keindahan lahir dari tangan-tangan manusia yang bekerja dengan hati dan jiwa.

Semoga BLANDONG menjadi pemantik bagi banyak lagi gerakan budaya serupa di Indonesia, dan menjadi pengingat abadi bahwa dalam setiap goresan pahat dan simpul anyaman, tersimpan nilai-nilai luhur bangsa yang tak lekang oleh waktu.

Daftar Referensi dan Sumber

Untuk menjaga akurasi dan kredibilitas, berikut adalah daftar sumber yang digunakan dalam penulisan artikel ini:

  1. Bentara Budaya Yogyakarta (2025). Dokumentasi Pameran BLANDONG. Katalog Pameran Internal.
  2. Wawancara dengan Pak Slamet, pengrajin ukir kayu Wonosari, dilakukan pada 15 Mei 2025.
  3. Wawancara dengan Dr. Rini Setyawati, sejarawan budaya Universitas Gadjah Mada, pada 18 Mei 2025.
  4. Wawancara dengan Bu Sari (Komunitas Anyaman Bambu Bantul), 12 Mei 2025.
  5. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
  6. UNESCSO. (2023). Safeguarding Traditional Craftsmanship: Global Challenges & Local Responses.
  7. Tim Dokumentasi BLANDONG. (2025). Laporan Internal Penyelenggaraan BLANDONG 2025.

Glosarium Istilah

Blandong – Dalam bahasa Jawa berarti “bongkar” atau “membuka”; dalam konteks pameran ini, diartikan sebagai pembukaan kembali ingatan dan nilai-nilai tradisi pertukangan.

Pertukangan – Segala bentuk keterampilan manual dalam mengolah bahan (kayum, bambu, besi, batu) menjadi barang atau karya seni.

Ukir – Proses memahat permukaan benda (biasanya kayu atau batu) dengan motif tertentu sebagai bentuk dekorasi atau ekspresi budaya.

Anyaman – Teknik menyusun bahan lentur (seperti bambu atau rotan) menjadi pola fungsional atau artistik.

Pematrian – Teknik tradisional dalam pengerjaan logam, terutama besi, dengan cara penempaan dan pemanasan.

Kerajinan Tradisional – Produk hasil keterampilan tangan berbasis pengetahuan lokal dan teknik turun-temurun.

Keris – Senjata tradisional Indonesia yang memiliki nilai simbolik, spiritual, dan artistik tinggi.

Pada 15 hingga 23 November 2024, Bentara Budaya Yogyakarta menyelenggarakan pameran bertajuk BLANDONG, yang mengangkat sejarah dan peran penting para tukang tradisional dalam membangun peradaban Nusantara. Pameran ini tidak hanya menampilkan alat-alat pertukangan, tetapi juga menggali kembali kisah para penebang pohon dan tukang kayu yang berjasa dalam membangun cikal bakal Sargede atau Kotagede, daerah yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari Yogyakarta.

Latar Belakang Pameran BLANDONG

Kata “Blandong” berasal dari bahasa Jawa yang berarti penebang pohon. Dalam konteks sejarah, para blandong memiliki peran penting dalam membuka Alas Mentaok sebagai wilayah perdikan bagi Ki Gede Pemanahan dan keluarganya. Hutan ini dibuka setelah lima abad pasca letusan besar Gunung Merapi, sebuah bencana yang mengubah banyak hal di wilayah Jawa Tengah. Para blandong ini tidak hanya menebang pohon, tetapi juga turut membangun pondasi sosial dan budaya, menciptakan rumah-rumah dari kayu pohon mentaok dan jati.

Tujuan dan Harapan Pameran

Pameran BLANDONG bertujuan untuk menghidupkan kembali kisah para tukang tradisional dan mengenalkan alat-alat pertukangan yang digunakan dalam membangun peradaban. Selain itu, pameran ini juga diharapkan dapat menjadi jembatan antara generasi sekarang dengan warisan keterampilan tukang tradisional yang hampir punah.

Koleksi yang Dipamerkan

Pameran ini menampilkan berbagai koleksi alat pertukangan, seperti kapak kecil (pethél) yang digunakan untuk meratakan permukaan kayu. Teknik khas ini menghasilkan pola yang tidak rata, disebut pethélan, sebuah bentuk seni tak sengaja yang menambah estetika pada hasil karya mereka.

Selain alat pertukangan tukang kayu, pameran ini juga menampilkan berbagai alat tukang dari profesi lainnya, termasuk tukang batu, tukang jahit, tukang cukur, tukang ukir, tukang becak, tukang jam, tukang patri, tukang sepatu, hingga tukang besi.

Peserta Pameran

Pameran ini melibatkan berbagai seniman dan praktisi, antara lain Didik Kapal, dr Didi Sumarsidi, Edi Sunaryo, Heri Gaos, Iwan Ganjar, Nita Azhar, Pak Well, dan Rembrand. Kolaborasi musik juga turut meramaikan acara ini, dengan penampilan dari Gatot Danar S, Annisa Hertami, Winarto Sabdo, Meuz Prast, Irwan Guntarto, dan Sriyadi Srintil.

Lokasi dan Waktu Pameran

Pameran BLANDONG berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta, yang terletak di Jl. Suroto no 2, Kotabaru, Yogyakarta. Acara ini dibuka pada Jumat, 15 November 2024, pukul 19.00 WIB oleh Nita Azhar, seorang desainer yang terinspirasi oleh warisan budaya Nusantara. Pameran ini dapat dikunjungi oleh publik pada 16 hingga 23 November 2024, dari pukul 10.00 hingga 21.00 WIB.

Penutup

Pameran BLANDONG di Bentara Budaya Yogyakarta merupakan upaya penting dalam mengenalkan kembali sejarah dan peran para tukang tradisional dalam membangun peradaban Nusantara. Melalui pameran ini, diharapkan generasi sekarang dapat lebih menghargai dan melestarikan warisan budaya yang telah ada sejak dahulu.

Bagi Anda yang tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang sejarah pertukangan dan alat-alat tradisional, pameran ini menjadi kesempatan yang sangat berharga. Jangan lewatkan kesempatan untuk mengunjungi Bentara Budaya Yogyakarta dan menyaksikan langsung koleksi yang dipamerkan.

Pameran BLANDONG tidak hanya menampilkan alat-alat pertukangan, tetapi juga menggali lebih dalam tentang konteks sosial dan budaya di balik keterampilan tersebut. Para tukang tradisional, atau yang dikenal dengan sebutan “blandong”, memiliki peran penting dalam membangun struktur sosial masyarakat Jawa. Mereka tidak hanya membangun rumah, tetapi juga membangun komunitas dan budaya yang ada di sekitarnya.

Melalui pameran ini, pengunjung diajak untuk memahami bagaimana keterampilan pertukangan tradisional menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Alat-alat yang dipamerkan mencerminkan kearifan lokal dan kreativitas yang tinggi, meskipun menggunakan teknologi yang terbatas pada masanya.


Pentingnya Pelestarian Keterampilan Tradisional

Di tengah kemajuan teknologi dan modernisasi, keterampilan tradisional sering kali terpinggirkan dan hampir punah. Pameran BLANDONG menjadi salah satu upaya untuk melestarikan dan mengenalkan kembali keterampilan ini kepada generasi muda. Dengan memahami dan menghargai keterampilan tradisional, diharapkan dapat muncul rasa cinta dan bangga terhadap warisan budaya bangsa.

Selain itu, pelestarian keterampilan tradisional juga dapat membuka peluang ekonomi baru, seperti pengembangan industri kerajinan tangan dan pariwisata berbasis budaya. Dengan demikian, pameran ini tidak hanya berfungsi sebagai ajang pameran seni, tetapi juga sebagai sarana edukasi dan pemberdayaan masyarakat.


Kesimpulan

Pameran BLANDONG di Bentara Budaya Yogyakarta merupakan upaya penting dalam mengenalkan kembali sejarah dan peran para tukang tradisional dalam membangun peradaban Nusantara. Melalui pameran ini, diharapkan generasi sekarang dapat lebih menghargai dan melestarikan warisan budaya yang telah ada sejak dahulu. Bagi Anda yang tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang sejarah pertukangan dan alat-alat tradisional, pameran ini menjadi kesempatan yang sangat berharga.

Jejak Sejarah: Dari Alas Mentaok ke Kotagede

Untuk memahami kedalaman makna pameran BLANDONG, kita harus menengok kembali ke masa lalu, ketika wilayah yang kini dikenal sebagai Kotagede masih berupa hutan belantara bernama Alas Mentaok. Kawasan ini diberikan oleh Sultan Hadiwijaya dari Pajang kepada Ki Gede Pemanahan sebagai tanah perdikan setelah kemenangan anaknya, Danang Sutawijaya, atas Arya Penangsang.

Tugas pertama Ki Gede Pemanahan ketika tiba di Mentaok adalah membangun permukiman. Namun untuk mendirikan permukiman baru, tentu dibutuhkan pembukaan hutan. Di sinilah peran para blandong menjadi krusial. Mereka adalah penebang pohon dan tukang kayu yang mampu menundukkan alam dan menyulapnya menjadi ruang hidup manusia. Mereka tidak sekadar merobohkan pepohonan, tapi juga memetakan kawasan, memproses bahan bangunan, dan mendirikan hunian berdasarkan pengetahuan teknik tradisional yang diwariskan turun-temurun.

Bangunan-bangunan awal Kotagede pun tidak sekadar hunian fungsional. Mereka adalah karya seni kayu, mengandung filosofi kosmologi Jawa, dan memuat nilai-nilai harmoni dengan alam. Rumah-rumah joglo, misalnya, dibangun tanpa paku, hanya dengan sistem pasak dan sambungan kayu yang presisi.

Profil: Blandong, Sang Penakluk Rimba

Istilah blandong bukan hanya bermakna teknis sebagai penebang pohon, tapi juga mencerminkan suatu kasta kerja dalam masyarakat tradisional Jawa. Mereka memiliki ketrampilan tinggi dan status sosial tersendiri. Mereka mengenal kayu dengan sangat dalam—mengetahui usia pohon dari seratnya, menebang pada waktu tertentu dalam kalender Jawa (biasanya hari baik menurut penanggalan Primbon), serta memahami bagaimana kayu akan berperilaku setelah dipotong dan dikeringkan.

Menjadi blandong tidak bisa sembarangan. Dibutuhkan pengetahuan mengenai teknik menebang agar pohon tumbang ke arah yang benar dan tidak membahayakan. Mereka juga menguasai cara mengolah kayu—dari mencongkel kulit, membelah batang, hingga menghaluskan permukaannya dengan pethél dan memahat dengan peralatan sederhana.

Para blandong juga hidup nomaden sesuai lokasi proyek. Mereka berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain, mengikuti gelombang pembangunan permukiman baru. Dalam banyak kisah rakyat dan babad, para blandong kerap digambarkan sebagai tokoh gagah perkasa dan berilmu, bahkan ada yang dikeramatkan setelah wafat.

Dari Tukang ke Seniman: Alat Sebagai Simbol

Pameran BLANDONG di Bentara Budaya Yogyakarta juga menarik karena mengajak kita untuk melihat alat pertukangan tidak hanya sebagai benda utilitarian, tetapi juga sebagai simbol peradaban.

Kapak, gergaji, pahat, palu, dan pasak—semua memiliki bentuk dan fungsi masing-masing, namun di tangan tukang yang tepat, mereka menjadi alat transformasi dunia. Dalam pameran ini, banyak alat yang ditampilkan memiliki desain unik, bahkan artistik, yang mencerminkan daerah asal atau era produksinya. Ada alat-alat dari zaman kolonial, dengan ukiran pada gagangnya; ada pula alat buatan tangan yang sudah digunakan lintas generasi.

Di sinilah alat pertukangan menjadi artefak sejarah—ia menyimpan cerita panjang tentang hubungan manusia dengan bahan, ruang, dan kebutuhan estetika.

Kisah dari Balik Alat: Narasi Para Tukang

Menariknya, pameran BLANDONG tidak hanya menampilkan objek benda mati, tapi juga menyajikan kisah hidup dari para tukang itu sendiri. Melalui instalasi, kutipan, dokumentasi video, dan teater mini, kita dapat mendengar langsung bagaimana para tukang hidup, bekerja, dan memaknai profesinya.

Salah satu testimoni datang dari Pak Well, seorang tukang patri yang telah bekerja sejak 1960-an. Ia berbagi cerita bagaimana ia memperbaiki alat-alat rumah tangga warga dari masa ke masa, dan bagaimana pekerjaan itu dulu sangat dihormati.

Ada juga kisah dari Mbah Darmo, tukang becak sekaligus tukang cukur yang dahulu membuka layanan keliling dengan membawa kursi lipat dan kaca kecil. Cerita-cerita ini memberi wajah manusiawi pada profesi tukang—mereka bukan sekadar pekerja kasar, melainkan penjaga keberlanjutan komunitas.

Kolaborasi Multidisiplin dalam Pameran

Pameran ini juga melibatkan kolaborasi lintas bidang. Tidak hanya seniman rupa, tetapi juga musisi, penulis, arsitek, dan pelaku budaya ikut berkontribusi untuk menyampaikan esensi pertukangan secara holistik.

Misalnya, dalam pertunjukan pembukaan, hadir musikalisasi puisi yang merespons suara alat tukang seperti dentingan palu atau gesekan gergaji. Nada-nada perkakas itu diolah menjadi komposisi musik yang penuh makna, mencerminkan kerja keras dan ritme kehidupan para tukang.

Visual pameran pun disusun seperti bengkel hidup. Pengunjung tidak hanya melihat alat, tetapi bisa menyentuh, mencium aroma kayu, bahkan mencoba menggunakan beberapa peralatan dengan bimbingan.

Mengapa Pertukangan Harus Dirayakan Hari Ini?

Di era digital, pekerjaan yang mengandalkan fisik, ketelitian manual, dan keterampilan tangan sering kali diremehkan. Profesi seperti tukang patri, tukang cukur, atau tukang sepatu dianggap ketinggalan zaman. Padahal, tanpa mereka, kita tidak akan memiliki rumah, jembatan, atau bahkan kursi tempat kita duduk sekarang.

Pameran BLANDONG adalah sebuah proklamasi budaya yang mengatakan: tukang adalah pencipta, bukan sekadar pelaksana. Mereka menciptakan ruang hidup yang aman, nyaman, dan bermakna. Mereka menjaga kesinambungan antara manusia dan alam lewat keterampilan yang diwariskan, bukan dibeli dari toko modern.

Harapan untuk Masa Depan

Pameran ini juga mengusulkan revitalisasi pendidikan vokasi dan pelestarian keterampilan tradisional. Saat ini, sekolah-sekolah kejuruan atau program pelatihan tukang semakin berkurang atau bergeser ke arah yang lebih mekanistik. Keterampilan seperti membuat sambungan kayu tanpa paku, mengenali kayu dari suara ketukan, atau mengukir dengan filosofi tertentu, perlahan menghilang.

Oleh karena itu, pameran BLANDONG bukan sekadar nostalgia, tapi sebuah seruan untuk mengakui kembali pentingnya pekerjaan manual dalam dunia modern. Diharapkan dari pameran ini muncul kesadaran baru dan regenerasi tukang-tukang muda yang bangga akan warisan leluhurnya.

baca juga : Resep Kue Nastar Lembut Lumer di Mulut Ukuran 1 Kg, Ini Cara Membuatnya agar Tidak Retak

Exit mobile version